Sasando: Keindahan Musik Tradisional dari Nusa Tenggara Timur – Musik tradisional Indonesia selalu memancarkan kekayaan budaya yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki alat musik khas yang menggambarkan karakter masyarakatnya. Salah satu alat musik tradisional yang paling unik dan menawan berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur — yaitu Sasando. Bentuknya yang khas menyerupai kelopak bunga dengan suara petikan yang lembut membuat Sasando bukan hanya alat musik, melainkan juga simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Rote.
Sasando telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal, baik dalam upacara adat, hiburan, maupun sebagai ekspresi seni yang diwariskan turun-temurun. Kini, alat musik ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga mulai menarik perhatian dunia karena keindahan suara dan nilai budaya yang dikandungnya.
Asal Usul dan Sejarah Sasando
Sasando dipercaya sudah ada sejak abad ke-7, jauh sebelum era kolonial. Menurut legenda yang hidup di Pulau Rote, alat musik ini pertama kali diciptakan oleh seorang pemuda bernama Sangguana. Dikisahkan, Sangguana terdampar di Pulau Ndana, pulau kecil dekat Rote, dan bermimpi memainkan alat musik bersuara indah. Setelah bangun, ia berusaha membuat alat seperti dalam mimpinya — terbuat dari bambu dan daun lontar. Hasilnya adalah Sasando pertama, yang kemudian berkembang menjadi alat musik khas Rote yang kita kenal sekarang.
Nama “Sasando” sendiri berasal dari bahasa Rote, yaitu “sasandu”, yang berarti alat yang bergetar atau berbunyi. Nama ini sangat sesuai dengan cara kerjanya: suara dihasilkan dari getaran senar yang dipetik, lalu diperkuat oleh pantulan bunyi dari daun lontar yang melingkupinya.
Sejak masa lampau, Sasando memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Rote. Ia digunakan dalam berbagai kegiatan adat seperti pernikahan, syukuran panen, dan penyambutan tamu kehormatan. Bahkan, bagi masyarakat setempat, memainkan Sasando dianggap sebagai bentuk doa dan ucapan syukur kepada Sang Pencipta.
Bentuk dan Struktur Sasando yang Unik
Sasando memiliki bentuk yang sangat khas dan mudah dikenali. Bagian utama alat musik ini adalah tabung bambu berdiameter sekitar 10 cm hingga 15 cm dan panjang sekitar 40 cm hingga 70 cm. Di sepanjang tabung tersebut dipasang senar-senar yang diikat dari atas ke bawah, membentuk nada-nada tertentu.
Di belakang senar terdapat penyangga kayu yang disebut senda untuk mengatur ketegangan dan posisi senar agar menghasilkan bunyi yang harmonis. Lalu, bagian paling menarik dari Sasando adalah daun lontar yang dibentuk menyerupai setengah lingkaran atau kipas besar, mengelilingi tabung bambu tersebut. Daun lontar ini berfungsi sebagai resonator — memperkuat dan memperindah suara yang dihasilkan saat senar dipetik.
Secara umum, Sasando dibagi menjadi dua jenis:
-
Sasando Gong
Jenis tradisional yang memiliki 7 hingga 12 senar, biasanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu daerah dengan nuansa lembut dan sakral. -
Sasando Biola
Jenis modern yang memiliki hingga 48 senar, memungkinkan pemain menghasilkan lebih banyak variasi nada dan melodi, bahkan memainkan lagu-lagu kontemporer.
Kombinasi antara material alami dan teknik tradisional membuat Sasando menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam — sebuah filosofi yang dalam dan menjadi dasar kehidupan masyarakat Pulau Rote.
Cara Memainkan Sasando
Memainkan Sasando membutuhkan teknik dan kehalusan jari yang khas. Berbeda dari gitar atau harpa yang biasanya dipetik menggunakan satu arah, Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan. Kedua tangan pemain berada di sisi kiri dan kanan alat, memetik senar secara bergantian untuk menghasilkan melodi dan harmoni.
Senar-senar pada Sasando memiliki nada yang sudah diatur sesuai tangga nada diatonis, mirip dengan skala musik Barat. Karena itu, Sasando bisa digunakan untuk memainkan berbagai jenis lagu, baik lagu tradisional daerah maupun lagu modern.
Suara Sasando terdengar sangat khas — lembut, bergetar, dan menenangkan. Banyak orang menggambarkannya seperti suara perpaduan antara harpa dan gitar klasik. Ketika dimainkan di tempat terbuka, suara Sasando seolah menyatu dengan tiupan angin laut, menciptakan suasana damai yang memikat hati pendengarnya.
Pemain Sasando profesional biasanya belajar bertahun-tahun untuk menguasai teknik petikan yang rumit. Selain menguasai nada, mereka juga harus memahami ritme dan perasaan lagu, karena setiap petikan Sasando membawa ekspresi dan makna tertentu.
Peran Sasando dalam Budaya dan Modernisasi
Sasando tidak sekadar alat musik; ia adalah simbol budaya dan identitas masyarakat Rote. Dalam berbagai upacara adat, kehadiran Sasando dianggap wajib sebagai pengiring tarian dan nyanyian daerah. Alat musik ini sering dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional seperti Foti dan Teo Rote, dua tarian khas yang melambangkan kebersamaan dan kebahagiaan.
Seiring perkembangan zaman, Sasando juga mengalami berbagai inovasi. Beberapa seniman muda di Nusa Tenggara Timur mulai membuat Sasando elektrik, yaitu Sasando yang menggunakan pickup dan amplifier untuk memperbesar suaranya. Dengan inovasi ini, Sasando bisa tampil di panggung besar, konser, bahkan diiringi alat musik modern seperti drum dan keyboard.
Penyanyi dan musisi nasional seperti Stanley Maringka dan Neo Maria Rote turut mempopulerkan Sasando ke tingkat internasional. Bahkan, Sasando pernah tampil di acara kebudayaan dunia seperti World Music Festival dan Expo 2010 Shanghai, memperkenalkan pesona musik Indonesia kepada dunia.
Makna Filosofis dan Nilai Budaya Sasando
Bagi masyarakat Pulau Rote, Sasando lebih dari sekadar hiburan. Ia mengandung nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Bentuk alat yang menyerupai kelopak bunga dan terbuat dari bahan alami mencerminkan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Selain itu, proses pembuatan Sasando dilakukan secara manual dan penuh ketelitian. Setiap bagian — dari bambu, senar, hingga daun lontar — harus dipilih dengan hati-hati. Proses ini mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan rasa hormat terhadap tradisi.
Dalam filosofi masyarakat Rote, suara Sasando yang lembut menggambarkan ketenangan jiwa dan kebijaksanaan. Ia menjadi simbol kedamaian, cinta kasih, serta keharmonisan sosial. Tidak heran jika alat musik ini sering dimainkan dalam acara-acara penting yang menandai kebersamaan dan syukur.
Upaya Pelestarian Sasando di Era Modern
Meski keindahannya diakui dunia, Sasando menghadapi tantangan serius di era modern. Banyak generasi muda lebih tertarik pada alat musik modern seperti gitar dan keyboard, sehingga minat terhadap Sasando mulai menurun.
Namun, berbagai upaya pelestarian terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun komunitas budaya. Sekolah musik tradisional di Kupang dan Rote mengajarkan cara memainkan dan membuat Sasando kepada anak-anak sejak dini. Selain itu, festival budaya seperti Festival Sasando Nusantara dan Festival Rote Ndao menjadi wadah penting untuk menjaga eksistensi alat musik ini.
Pemerintah Nusa Tenggara Timur juga telah menetapkan Sasando sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, mendorong promosi melalui pariwisata dan pertunjukan seni di berbagai daerah. Bahkan, Sasando kini sering dijadikan souvenir khas NTT, baik dalam bentuk miniatur maupun dekorasi interior, memperkenalkan simbol budaya ini kepada wisatawan dari berbagai negara.
Kesimpulan
Sasando adalah bukti nyata betapa kayanya budaya musik Indonesia. Dengan suara lembut yang menenangkan dan bentuk yang unik, alat musik dari Pulau Rote ini bukan hanya karya seni, tetapi juga warisan sejarah dan filosofi kehidupan.
Keberadaannya mengajarkan kita pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Di tengah perkembangan teknologi dan musik digital, Sasando tetap bersinar sebagai simbol harmoni antara manusia dan alam, antara masa lalu dan masa depan.
Ketika jari jemari menari di atas senar Sasando, yang terdengar bukan sekadar melodi — melainkan suara jiwa Nusantara yang terus bergetar dan hidup dalam setiap petikan.